Belajar dari Fatin!
Ketika anak sekolahan yang masih berseragam sekolah ini ikut
pertama kali audisi the X-Factor, semua orang terhenyak, kaget, ada suara yang
demikian memukau, amazing. Lagu yang dibawakannya amat sangat pas sekali dengan
nada suaranya. Itulah mengapa menjadi indah. Fatin, si gadis anak sekolahan itu
meniti riak-riak ombak, meliuk, melenggok-lenggok kecil, membuai riakan ombak
kecil dengan nyaman. Fatin memang anak riak ombak.
Dua tiga tampilan berikut, Fatin masih anak sekolahan yang meniti
riak-riak ombak, walaupun kadang-kadang agak sedikit keluar jalur, ke gelombang
pasang yang meninggi, tapi masih bisa kembali ke riak-riak ombak lagi. Itulah
makanya Fatin masih tetap memuaku.
Kesalahan fatal dilakukan Fatin ketika ia memaksa diri, atu
dipaksa, mengarungi gelombang tinggi yang memecah angin. Fatin sudah bukan
Fatin lagi si anak riak-riak ombak. Fatin dipaksa menjadi peselancar yang
menaik menukik mengikuti gelombang pasang. Fatin dipaksa berteriak
menentang angin, lalu suaranya menjadi suara burung camar mengejar deru angin, bukan
lagi suara dan juga gaya pinguin yang berenang mengikuti riak-riak ombak. The
F-factor Fatin hilanglah sudah musnah, berubah frontal menjadi the R-factor.
Akibatnya tiada lagi tepuk tangan membahana menyambut kehadirannya,
tampilannya, dan penghujung tampilannya yang biasanya meriak ombak menepi
pantai, me-”ngeseh” lembut.
Dani menekankan bahwa dari tampilan Fatin (walau disebutnya secara
meneyluruh dari tampilan the X-Factor) kita bisa belajar, seluruh bangsa
Indonesia bisa belajar, semua calon peserta the X-Factor bisa belajar. Belajar
bahwa menyanyi yang memuaku itu bukan sekedar menyanyi, melainkan menyanyi yang
sesuai dengan sifat karakter sendiri-sendiri. Ahmad Dani selalu mengingatkan
agar Fatin jangan sampai meninggalkan the F-factornya sendiri, the Fatin-factor.
Bebi Romeo selalu mengingatkan bahwa apabila Fatin salah memilih lagu, maka ia
akan gagal!
Ternyata kita semua bisa belajar. Hanya sekedar ahli bidang studi
tidaklah serta merta bisa menjadi guru bidang studi yang baik. Pernah
bersekolah tidaklah serta merta bisa menjadi guru yang baik di sekolah. Bisa,
bahkan ahli, menyanyi tidaklah serta merta bisa mengajari orang menyanyi,
dengan baik tentu. Perlu lebih dari sekedar bisa dan berpengalaman.
Dalil itu mungkin cocok diterapkan untuk Rossa dan Fatin si mungil
pemilik F-factor yang suaranya disukai Ahmad Dani. Rossa tidak diragukan
kemampuannya menyanyi. Akan tetapi sebagai mentor, ternyata tidak sepenuhnya ia
mampu membawa Fatin terampil menyanyi dengan karakter Fatin sendiri (F-factor,
kata Dani).
Menurut “selera” saya, karena saya awam dengan
nyanyi-menyanyi, setidaknya sudah dua kali Fatin “gagal” menyanyi sebagai
Fatin. Pertama, saat setelah ditunggu-tunggu sangat lama, karena sengaja
dipasang paling akhir tampil berkat kepopulerannya yang menaikkan rating
X-Factor, Fatin “gagal” menyanyikan lagu Rossa, Rindu. Kedua, Jumat malam
terakhir ini, 8 Maret 2013, ketika “memilih” lagu Girl on Fire. Biasanya
ketika dan setelah menyanyi, Fatin mendapatkan tepuk tangan dan teriakan gegap gempita,
ketika itu boleh dibilang sepi tepuk tangan.
Bebi Romeo, salah satu juri, sekali lagi mengingatkan Fatin, bahwa
Fatin pasti akan “habis” manakala salah memilih lagu, dan, walau tak langsung
dinyatakan, yang dipilih Fatin itu lagu yang salah. Itu yang mau dikatakan
Bebi, hanya tentu tak mau menyinggung sesama mentor. Dani juga mengingatkan
agar Fatin tetaplah Fatin, sesuai dengan ke-Fatin-annya (the F-fator).
Pertanyaan Dani sangat amat sederhana, tapi mgnhunjam, “Siapa yang
memilih Grenade waktu tampil pertama kali?” “Aku,” jawab Fatin. Itu pilihan
yang pas, pas dengan Fatin. Maksudnya Dani juga lagu yang dibawakan kali itu
bukan lagu “pilihan” Fatin.
Itulah makna slogan “tut wuri handayani” (standing behind
empowering) yang bahkan para guru sekalipun kerap tak paham maknanya. Tiap
“anak didik” punya daya (power, potensi) sendiri. Tugas pendidik adalah
mengikuti (tut wuri) power si anak didik itu, membantunya untuk meningkat.
Pendidik tidak berdiri di muka (ing ngarso) menentukan mengarahkan. Berdiri di
muka hanya jika diperlukan, ketika anak didik tak tahu apa-apa. Itu makna
hakiki “student centered education.” Ikuti daya anak, biarkan dia berjalan
sesuai dengan daya potensinya, pendidik hanya mengikuti saja, sekali-sekali
memberi arahan kalau-kalau sesat jalan.
Pada ketika Fatin tak tahu benar “gaya panggung,” pada ketika itu
pendidik berdiri di depan (ing ngarso) memberi contoh (sung tulodo). Memberi
contoh bagaimana bergaya sederhana (karena Fatin suka yang sederhana, dan lebih
pas yang sederhana), tentu diperlukan. Tetapi memberi contoh (menentukan) lagu
menurut selera guru, itu kesalahan besar. Fatin bukan Rosa. Mungkin Fatin lebih
cocok dengan Anggun, ada kemiripan nada suara. Rosa itu nadanya meninggi,
seperti burung camar menyeruak langit, sementara Fatin itu burung pinguin,
suaranya meriak ombak. Jangan ajak Fatin menguikuti Rossa. Fatin tetap Fatin,
bukan Rossa.
Mohon maaf untuk Rossa. Saya suka Rossa, tapi saya lebih suka jika
Rossa “tut wuri handayani” Fatin!
Kasihan Fatin telah kehilangan her own F-factor!
Tatang Amirin di Kompasiana
Belajar dari Fatin!
Reviewed by PKS Deli Serdang
on
3/10/2013
Rating:
Reviewed by PKS Deli Serdang
on
3/10/2013
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar